468x60 Ads

Friday, May 17, 2013

EKOSISTEM SUNGAI DAN BANTARAN SUNGAI

Sungai diibaratkan sebagai urat nadi dalam tubuh manusia, sementara air yang mengalir dalam urat nadi tersebut adalah seumpama darah. Tanpa urat nadi, darah tidak mungkin mengirimkan berbagai zat makanan yang dibutuhkan oleh semua bagian tubuh manusia. Demikian juga tanpa sungai atau apabila sungai sudah tercemar maka manusia, selain akan kesulitan untuk mendapatkan air yang layak, namun juga akan mahal.
Sebagaimana yang sudah banyak diketahui, DeSanto (1978) mengemukakan bahwa sekitar 70% tubuh manusia merupakan air dan setiap harinya manusia membutuhkan sekitar 1,5 liter air untuk tetap survive, dan ekosistem daratan secara langsung tergantung pada air sebagai faktor yang menentukan struktur dan fungsi seluruh bioma di bumi.
Sementara itu, Odum (1988) mengemukakan bahwa oleh karena air amat penting dan merupakan bagian terbesar dari protoplasma, maka dapatlah dikatakan bahwa semua kehidupan adalah ‘akuatik’ Sungai, tempat air mengalir dan membawa berbagai kebutuhan hidup manusia dan berbagai makluk lain yang dilaluinya, merupakan bagian dari ekosistem air tawar.
Meskipun luasan sungai dan jumlah air yang mengalir yang didalamnya sangat sedikit jika dibandingkan dengan luas dan jumlah air yang di laut, namun sungai memiliki peranan penting secara langsung bagi kehidupan manusia dan makluk di sekitarnya. Bila harus mendatangkan air dari laut, tentunya selain mahal dan lama, juga dibutuhkan teknologi tinggi untuk mentawarkan air laut tersebut. 
Klasifikasi Habitat Air Tawar
Berdasarkan pertimbangan beberapa kondisi dasar ekologi, DeSanto (1978), Odum (1988), Ewusie (1990) mengklasifikasikan habitat air tawar menjadi dua tipe, yaitu:
1. Air tergenang, atau habitat lentik (berasar dari kata lenis = tenang), seperti danau, kolam, rawa atau pasir terapung.
2. Air mengalir, atau habitat lotik (berasal dari kata lotus = tercuci), seperti mata air, aliran air (brook-creek) atau sungai.
Lebih lanjut Odum (1988) mengemukakan bahwa seseorang tidak perlu menjadi ahli, atau mengambil variasi kehidupan yang ada, untuk mengenali perbedaan antara air tergenang dan air mengalir. Ewusie (1990) menjelaskan satu perbedaan mendasar antara danau (air diam) dengan sungai (air mengalir) adalah bahwa danau terbentuk karena cekungannya sudah ada dan air mengisi cekungan itu, tetapi danau itu setiap saat dapat terisi oleh endapan sehingga menjadi tanah kering. Sebaliknya, sungai terjadi karena airnya sudah ada, sehingga air itulah yang membentuk dan menyebabkan tetap adanya saluran selama masih terdapat air yang mengisinya.
Pada umumnya, perbedaan antara aliran air (sungai) dengan air tergenang (kolam) terkait dengan 3 (tiga) kondisi (Odum, 1988), yaitu (1) arus adalah faktor yang paling penting mengendalikan dan merupakan faktor pembatas di aliran air, (2) pertukaran tanah-air relatif lebih ekstensif pada aliran air yang menghasilkan ekosistem yang lebih ‘terbuka’ dan suatu metabolisme komunitas tipe ‘heterotropik’, dan (3) tekanan oksigen biasanya lebih merata dalam aliran air, dan stratifikasi termal maupun kimiawi tidak ada atau dapat diabaikan.
Zona Utama Sungai Ada dua zona utama pada aliran air (sungai) (Odum, 1988), yaitu:
1. Zona air deras: daerah yang dangkal dimana kecepatan arus cukup tinggi untuk menyebabkan dasar sungai bersih dari endapan dan materi lain yang lepas, sehingga dasarnya padat. Zona ini dihuni oleh bentos yang beradaptasi khusus atau organisme ferifitik yang dapat melekat atau berpegang dengan kuat pada dasar yang padat, dan oleh ikan yang kuat berenang. Zona ini umumnya terdapat pada hulu sungai di daerah pergunungan.
2. Zona air tenang: bagian sungai yang dalam dimana kecepatan arus sudah berkurang, maka lumpur dan materi lepas cenderung mengendap di dasar, sehingga dasarnya lunak, tidak sesuai untuk bentos permukaan tetapi cocok untuk penggali nekton dan pada beberapa kasus, plankton. Zona ini banyak dijumpai pada daerah yang landai, misalnya di pantai timur Sumatera, dan Kalimantan.
Selain itu, jika pada kolam dan danau zonasi yang menonjol adalah horisontal, tetapi pada sungai (air mengalir) zonasinya secara longitudinal. Jadi, di dalam danau, zona yang berturut-turut dari tengah ke tepian berturut-turut mewakili tingkat geologis yang lebih tua pada proses pengisian danau. Sedangkan pada sungai dapat dijumpai tingkat yang lebih tua dari hulu kehilir. Perubahan lebih terlihat pada bagian atas dari aliran air, dan komposisi kimia berubah dengan cepat. Perubahan komposisi komunitas sewajarnya lebih jelas pada kilometer pertama dibandingkan 50 kilometer terakhir (Odum, 1988)
Sifat dan Adaptasi Komunitas Sungai
Arus merupakan faktor pembatas utama pada aliran deras, tetapi dasar yang keras, terutama bila terdiri dari batu, dapat menyediakan permukaan yang cocok untuk organisme (flora dan fauna) untuk menempel dan melekat. Dasar di air tenang yang lunak dan terus-menerus berubah umumnya membatasi organisme bentik yang lebih kecil sampai bentuk penggali, tetapi bila kedalaman lebih besar lagi, dimana gerakan air lebih lambat, lebih sesuai untuk plankton, neuston dan plankton. Komposisi jenis dari komunitas air deras sewajarnya 100% berbeda dari zona poerairan yang tenang seperti kolamdan danau (Odum, 1988). Beberapa bentuk adaptasi dari organisme komunitas air deras untuk mempertahankan posisi pada air yang mengalir (DeSanto, 1978, Odum, 1988) adalah:
1. Melekat permanen pada substrat yang kokoh, seperti batu, batang kayu, atau massa daun. Dalam kategori ini termasuk tanaman produsen utama dari aliran air, berupa (a) ganggang hijau yang melekat, seperti Cladophora, yang mempunyai serabut yang panjang; (b) diatomae yang bertutup keras yang menutupi berbagai permukaan; danc) lumut air dari marga Fontinalis dan beberapa marga yang lain yang menutupi batubahkan aliran air yang paling deras sekalipun.
2. Kaitan dengan penghisap. Sejumlah besar binatang yang hidup di aliran air deras mempunyai kaitan atau penghisap yang memungkinkan mereka untuk berpegang pada permukaan yang tampak halus. 
3. Permukaan bawah yang lengket. Banyak binatang dapat menempelkan diri pada permukaan dengan bagian bawahnya yang lengket. Sebagai contoh adalah siput dan cacing pipih.
4. Badan yang stream line. Hampir semua bianatang aliran air, dari larva serangga sampai ikan, menunjukkan bentuk ‘streamline’, dimana bentuk badannya hampir serupa dengan telur, melengkung lebar didepan dan meruncing ke arah belakang, menyebabkan tekanan minimum dari air yang mengalir melewatinya.
5. Badan yang pipih. Sebagai tambahan dari ‘streamline’, banyak binatang daerah aliran air deras menunjukkan badan yang pipih yang memungkinkan mereka menemukan tempat perlindungan di bawah batu dan dicelah-celah batu. Jadi badan dari nimfa lalat batu (‘stonefly’) dan ‘mayfly’ yang hidup di aliran air jauh lebih pipih dibandingkan dengan badan nimfa dari jenis yang dekat hubungannya tetapi hidup dikolam.
6. Rheotaxis positif (rheo = arus, taxis = pengaturan). Binatang aliran air hampir tidak bervariasi berorientasi ke arah hulu dan, bila dapat berenang, terus-menerus bergerak melawan arus. Karakter tersebut merupakan polah tingkah laku yang diturunkan. Kebalikannya, banyak binatang yang hidup di danau, bila ditempatkan di air mengalir, hanyut bersama dengan arus dan tidak berusaha untuk berorientasi atau bergerak melawan arus. Pola tingkah laku yang diturunkan untuk rheotaxis positif sama pentingnya dengan adaptasi morfologi yang disebutkan sebelumnya.
7. Thigmotaxis positif (thigmo = sentuhan, hubungan). Banyak binatang aliran air mempunyai pola tingkah laku yang diturunkan untuk melekat dekat permukaan atau menjaga badannya agar dekat dengan permukaan. Jadi bila sekelompok nimfa ‘stonefly’ ditempatkan di suatu cekungan, mereka berusaha untuk berhubungan dengan bagian bawah dari cabang kayu, reruntuhan, atau apa saja yang ada, bahkan saling melekat bila tidak ada permukaan yang dapat dilekati.

Terima kasih, sampai jumpa di artikel berikutnya.



SUNGAI

Menurut Nurisjah (2004), sungai adalah tempat mengalirnya air yang berasal dari air hujan pada suatu alur yang panjang diatas permukaan bumi, dan merupakan salah satu badan air lotik yang utama. Yaitu :
1. Badan air dengan air yang mengalir (sistem lotik)
2. Badan air dengan air yang tidak mengalir (sistem lentik).
Menurut Nurisjah (2004), dalam perjalanan air dari mata airnya di bagian hulu yang umumnya terletak di daerah pegunungan menuju ke hilir yang terletak di daerah yang lebih rendah atau dataran, aliran sungai secara lambat laun akan bersatu dengan beberapa sungai lain hingga pada akhirnya badan sungai menjadi besar. Sungai yang memiliki daerah aliran yang panjang dan volume air terbesar disebut sungai utama dan cabang-cabangnya disebut anak sungai. Sungai yang membentuk beberapa buah cabang sebelum berakhir di sebuah wadah kumpulan air (danau atau laut) disebut sebagai cabang sungai.
Sungai-sungai yang mengalir disuatu daerah pegunungan dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu pada bagian hulu dimana air mengalir diantara celah-celah pegunungan yang disebut sungai arus deras. Sungai ini merupakan sungai yang kedua tebingnya merupakan bagian dari lereng-lereng gunung yang berdampingan dan sungai yang di luar pegunungan ini selanjutnya dibagi lagi menjadi sungai yang mengalir di lembah dan sungai di daerah kipas pengendapan. Pada bagian sungai arus deras di daerah pegunungan akan terbentuk jurang-jurang. Air yang mengalir dari sungai arus deras umumnya mengandung sedimen dengan konsentrasi yang tinggi. Sebagian dari sedimen ini, dalam perjalanannya, akan diendapkan disepanjang bagian sungai diluar daerah pegunungan.
Sungai dan lembahnya ibarat organisme hidup yang selalu berubah dari waktu ke waktu, mulai dari masa muda, dewasa, dan masa tua (Gambar 3). Siklus kehidupan sungai dimulai ketika tanah baru muncul di atas permukaan laut. Hujan kemudian mengikis tanah tersebut membentuk parit, kemudian parit-parit bertemu sesamanya membentuk sungai. Selain itu, sungai bisa juga terbentuk dari danau yang perlahan menghilang sebagai sungai dangkal dan terkikis membentuk sisi yang curam atau lembah berbentuk V. Anak-anak sungai kemudian tumbuh dari sungai utamanya seperti cabang pohon. Semakin tua sungai lembahnya akan semakin dalam dan anak-anak sungainya akan semakin panjang (Morris, 1980).
Sungai dapat dinyatakan juga merupakan suatu saluran drainase yang terbentuk secara alami dan berfungsi sebagai saluran drainase. Air yang mengalir di dalam sungai, selama keberadaan sungai dan secara terus menerus, akan mengikis tanah bagian dasarnya yang selanjutnya akan membentuk lembah-lembah sungai. Volume sedimen yang besar yang dihasilkan dari reruntuhan tebing sungai di daerah pegunungan dengan kemiringan yang curam akan memiliki atau menghasilkan aliran yang cukup besar. Tetapi setelah aliran mencapai dataran maka gaya aliran akan sangat menurun dan beban yang terdapat dalam arus sungai ini akan secara berangsur diendapkan. Karena itu dapat dilihat ukuran butiran sedimen yang diendapkan di bagian hulu sungai umumnya lebih besar dan bersudut dibandingkan dengan yang terdapat dibagian hilirnya (Nurisjah, 2004).
Menurut Maryono (2008), dalam proses morfologi pembentukan sungai, sungai terbentuk sesuai dengan kondisi geografi, ekologi dan hidrologi daerah setempat, serta dalam perkembangannya akan mencapai kondisi keseimbangan dinamiknya. Kondisi geografi banyak menentukan letak dan bentuk alur sungai memanjang dan melintang. Ekologi menentukan tampang melintang dan keragaman hayati serta faktor retensi
sungai. Sedangkan hidrologi menentukan besar kecil dan frekuensi aliran air di sungai. Ketiga faktor tersebut saling terkait dan secara integral membentuk sungai yang alami. Sungai yang alami akan dapat mendukung kehidupan biota yang tinggal di sungai tersebut karena merupakan habitat aslinya. Intervensi manusia dalam merubah alur sungai (pelurusan pada sungai yang meander dan/atau membelokan sungai yang lurus) akan berakibat terhadap keberlangsungan sungai itu sendiri. 

Terima kasih, sampai jumpa di artikel berikutnya.



SANITASI LINGKUNGAN PANTAI

Seringkali penggunaan istilah „pantai‟ dan „pesisir‟ tidak didefinisikan dengan jelas dan pasti. Apabila ditinjau secara yuridis tampaknya kedua istilah tersebut harus diberi pengertian secara jelas. Pemaknaan kembali kedua istilah tersebut dimaksudkan untuk menghindarkan keraguan atau ketidakpastian, baik dalam perumusan suatu peraturan maupun dalam pelaksanaannya. Berikut ini
definisi „pantai‟ dan „pesisir‟ (Diraputra, 2001) :“
Pantai adalah daerah pertemuan antara air pasang tertinggi dengan daratan. Sedangkan garis pantai adalah garis air yang menghubungkan titik-titik pertemuan antara air pasang tertinggi dengan daratan. Garis pantai akan terbentuk mengikuti konfigurasi tanah pantai/daratan itu sendiri”. “Pesisir adalah daerah pertemuan antara pengaruh daratan dan pengaruh lautan. Ke arah daratan mencakup daerah-daerah tertentu di mana pengaruh lautan masih terasa (angin laut, suhu, tanaman, burung laut, dsb). Sedangkan ke arah lautan daerah pesisir dapat mencakup kawasan-kawasan laut dimana masih terasa atau masih tampak pengaruh dari aktifitas di daratan (misalnya penampakan bahan pencemar, sedimentasi, dan warna air)”.

Dari definisi pantai dan pesisir tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian pesisir mencakup kawasan yang lebih luas dari pengertian pantai. Dalam konteks ini dapat pula dibedakan antara „tanah pantai‟dan ‟tanah pesisir‟. Berikut ini definisi „tanah pantai‟ dan ‟tanah pesisir.
Tanah pantai adalah tanah yang berada antara garis air surut terendah dan garis air pasang tertinggi, termasuk ke dalamnya bagian-bagian daratan mulai dari garis air pasang tertinggi sampai jarak tertentu ke arah daratan, yang disebut sebagai„sempadan pantai‟.
Menurut Kepmen Kelautan dan Perikanan No. 10 Tahun 2002 tentang Pengelolaan, sempadan pantai adalah daerah sepanjang pantai yang diperuntukkan bagi pengamanan dan pelestarian pantai. Kawasan sempadan pantai berfungsi untuk mencegah terjadinya abrasi pantai dan melindungi pantai dari kegiatan yang dapat mengganggu/merusak fungsi dan kelestarian kawasan pantai.
Daerah sempadan pantai hanya diperbolehkan untuk tanaman yang berfungsi sebagai pelindung dan pengaman pantai, penggunaan fasilitas umum yang tidak merubah fungsi lahan sebagai pengaman dan pelestarian pantai. Berdasarkan Kepres No.32 Tahun 1990, tentang Pengelolaan Kawasan Lindung telah ditentukan bahwa :
1) Perlindungan terhadap sempadan pantai dilakukan untuk melindungi wilayah pantai dari kegiatan yang mengganggu kelestarian fungsi pantai (pasal 13).
2) Kriteria sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi kearah darat (pasal 14).
Wilayah pantai dapat dipahami sebagai wilayah tempatbertemunya berbagai kepentingan, baik pemerintah, pengusaha maupun masyarakat dalam rangka memanfaatakan wilayah pantai dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Dalam kaitan ini, pemanfaatan sumber daya pantai dan ekosistemnya melalui peraturan perundang-undangan memiliki kedudukan penting dalam upaya memperkecil, mencegah, atau bahkan menghindarkan terjadinya tumpang-tindih kewenangan dan benturan kepentingan.
Perlu diingat bahwa pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya pantai bersifat lintas sektoral karena sektor kelautan melingkupi kewenangan beberapa institusi negara yang memiliki bidang kerja yang berkaitan dengan laut, misalnya perhubungan, pariwisata dan budaya, energi dan sumber daya mineral, serta kelautan dan perikanan. Problemnya, institusi-institusi tersebut tidak memiliki platform dan arah kebijakan pembangunan yang sejalan dalam bidang kelautan. Masing-masing institusi negara berjalan sendiri-sendiri tanpa ada koordinasi yang jelas. Seperti yang terjadi di kawasan wisata Bunaken, tidak hanya Pemda terlibat dalam pengelolaannya, melainkan juga melibatkan sejumlah instansi terkait seperti, Badan Pengelola Kawasan Bunaken di Pemda Sulut, Dinas Pariwisata Sulut, Sub Balai Konservasi Sumber Daya Alam (SBKSDA) dan Dinas Kehutanan Sulut.
Tinjauan yuridis pantai mencakup pula status kepemilikan kawasan dalam sempadan pantai dan peraturan perundangan yang memuat ketentuan lebar kawasan sempadan pantai dihitung dari garis pantai. Dari beberapa definisi sempadan pantai yang telah dikemukan di atas, dapat disimpulkan bahwa kawasan sempadan pantai merupakan kawasan yang dikuasai oleh Negara yang dilindungi keberadaannya karena berfungsi sebagai pelindung kelestarian lingkungan pantai. Dengan demikian kawasan sempadan pantai menjadi ruang publik dengan akses terbuka bagi siapapun (public domain).
Status tanah Negara pada kawasan tersebut mengisyaratkan bahwa negara dalam hal pemerintah yang berhak menguasai dan memanfaatkannya sesuai dengan fungsinya. Pemanfaatan dan pengelolaan kawasan sempadan pantai semata-mata difokuskan untuk kegiatan yang berkaitan dengan fungsi konservasinya serta harus steril atau terbebas dari kegiatan pembangunan. Pemerintah sebagai pemegang hak pengelolaan memegang peranan dalam mengendalikan pemanfaatannya tersebut, bisa dengan jalan kontrol memberikan ijin pemanfaatan bagian-bagian tanah kawasan pantai pada pihak ketiga berdasarkan perjanjian. Dan Pemerintah atau Pemerintah Daerah mempunyai kewajiban mengadakan pengawasan terhadap pengelolaan kawasan pantai oleh pihak ketiga tersebut. Selain pengawasan dan kontrol terhadap pemanfaatan kawasan sempadan pantai, sebelumnya perlu dilakukan pengetatan pemberian izin lokasi untuk pemanfaatan tanah pantai. Sempadan pantai sebagaimana dimaksud dalam uraian di atas ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di Indonesia, setelah terjadi perubahan paradigma pemerintahan, yakni dengan berlakunya UU No. 22 Tahun 1999, maka tiap daeah tingkat II memiliki wewenang untuk mengelola wilayah laut selebar 1/3 mil dari lebar laut yang menjadi wewenang propinsi. Wewenang tersebut, termasuk membuat peraturan tentang penentuan kawasan sempadan pantai, yang lebarnya ditetapkan sesuai dengan kondisi fisik pantai masing-masing daerah. Walaupun begitu Pemerintah Pusat melalui Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990, telah menetapkan kawasan sempadan pantai dengan jarak minimal 100 meter dari pantai pada waktu pasang tertinggi, sebagai pedoman bagi pemerintah di daerah tingkat II.
Fakta adanya pelanggaran-pelanggaran di kawasan sempadan pantai mungkin juga dipicu oleh peraturan perundang-undangan dalam jumlah banyak secara bersamaan dalam waktu yang sama dan dalam ruang yang sama pula. Hal ini sudah barang tentu telah membawa konsekuensi terjadinya disharmoni hukum yang ditunjukkan misalnya dengan adanya tumpang-tindih kewenangan dan benturan kepentingan. Contoh konkret dari disharmoni tersebut adalah ketidakselarasan dan ketidakserasian antara penerapan UU Kehutanan dan UU Perikanan dalam masalah konservasi. Inkonsistensi dalam penjatuhan sanksi terhadap pelanggaran hukum juga menimbulkan terjadinya disharmoni hukum yang harus diharmonisasikan melalui kegiatan penyerasian dan penyelarasan hukum (Patlis Jason M. dkk,2005). Situasi ini perlu segera disikapi dengan menyelaraskan berbegai peraturan yang sudah melalui revisi-revisi, pencabutan atau penerbitan peraturan yang baru.
Terima Kasih, sampai jumpa di artikel berikutnya.



PEMANFAATAN SAMPAH

Daur ulang
Daur ulang adalah salah satu strategi pengelolaan sampah padat yang terdiri atas kegiatan pemilahan, pengumpulan , pemrosesan, pendistribusian dan pembuatan produk/material bekas pakai.

Manfaat pengelolaan sampah
1.    Menghemat sumber daya alam
2.    Mengehemat Energi
3.    Menguranagi uang belanja
4.    Menghemat lahan TPA
5.    Lingkungan asri (bersih,sehat,nyaman)

Contoh  Nilai ekonomis dari bahan daur ulang sampah

NO    JENIS BARANG LAPAK              HARGA/KG
1                        Gelas Aqua                          1600   
2                        Kaleng Oli                            1500   
3                        Ember biasa                         1100   
4       Keras (kaset, yakult, botol kecap)           150   
5               Ember hitam (anti pecah)                 800   
6                        Botol Aqua                            700   
7             Putian (botol bayclin, infus)              1600   
8                           Kardus                               500   
9                       Kertas Putih                           700   
10                        Majalah                              350   
11                         Koran                                500   
12                   Duplek (kardus tipis)               150   
13                        Semen                                400   
14                     Besi Beton                             700   
15                     Besi super                             450   
16                     Besi pipa                               250   
17                Tembaga super                         8000   
18                Tembaga bakar                        7000   
19               Aluminium tebal                         6000   
20                Aluminium tipis                         4000   
21                Botol air besar                           400   
22        Botol bir kecil, sprite, fanta                 200   
Sumber : koperasi pemulung 2003  

Terima Kasih, sampai jumpa di artikel berikutnya.



PEMUSNAHAN SAMPAH

Beberapa cara pemusnahan sampah yang dapat dilakukan secara sederhana sebagai berikut :
1.    Penumpukan.
Dengan metode ini, sebenarnya sampah tidak dimusnahkan secara langsung, namun dibiarkan membusuk menjadi bahan organik. Metode penumpukan bersifat murah, sederhana, tetapi menimbulkan resiko karena berjnagkitnya penyakit menular, menyebabkan pencemaran, terutama bau, kotoran dan sumber penyakit dana badan-badan air.
2.    Pengkomposan.
Cara pengkomposan meerupakan cara sederhana dan dapat menghasilkan pupuk yang mempunyai nilai ekonomi.
3.    Pembakaran.
Metode ini dapat dilakuakn hanya untuk sampah yang dapat dibakar habis. Harus diusahakan jauh dari pemukiman untuk menhindari pencemarn asap, bau dan kebakaran.
4.    “Sanitary Landfill”.
Metode ini hampir sama dengan pemupukan, tetapi cekungan yang telah penuh terisi sampah ditutupi tanah, namun cara ini memerlukan areal khusus yang sangat luas.
a.    Sampah basah : Kompos dan makanan ternak
b.    Sampah kering : Dipakai kembali dan daur ulang
c.    Sampah kertas : Daur Ulang
5.    Botol Bekas wadah kecap, saos, sirup, creamer dll baik yang putih bening maupun yang berwarna terutama gelas atau kaca yang tebal.
6.    Kertas, terutama kertas bekas di kantor, koran, majalah, kardus kecualai kertas yang berlapis minyak.
7.    Aluminium bekas wadah minuman ringan, bekas kemasan kue dll.
8.    Besi bekas rangka meja, besi rangka beton dll
9.    Plastik bekas wadah shampoo, air mineral, jerigen, ember dll
10.    Sampah basah dapat diolah menjadi kompos.

Tempat pembuangan akhir (TPA) atau tempat pembuangan sampah (TPS) ialah tempat untuk menimbun sampah dan merupakan bentuk tertua perlakuan sampah. TPA dapat berbentuk tempat pembuangan dalam (di mana pembuang sampah membawa sampah di tempat produksi) begitupun tempat yang digunakan oleh produsen. Dahulu, TPA merupakan cara paling umum untuk limbah buangan terorganisir dan tetap begitu di sejumlah tempat di dunia. Sejumlah dampak negatif dapat ditimbulkan dari keberadaan TPA. Dampak tersebut bisa beragam: musibah fatal (misalnya burung bangkai yang terkubur di bawah timbunan sampah); kerusakan infrastruktur (misalnya kerusakan ke akses jalan oleh kendaraan berat); pencemaran lingkungan setempat (seperti pencemaran air tanah oleh kebocoran dan pencemaran tanah sisa selama pemakaian TPA, begitupun setelah penutupan TPA); pelepasan gas metana yang disebabkan oleh pembusukan sampah organik (metana adalah gas rumah kaca yang berkali-kali lebih potensial daripada karbon dioksida, dan dapat membahayakan penduduk suatu tempat); melindungi pembawa penyakit seperti tikus dan lalat, khususnya dari TPA yang dioperasikan secara salah, yang umum di Dunia Ketiga; jejas pada margasatwa; dan gangguan sederhana (mis., debu, bau busuk, kutu, atau polusi suara).


Terima Kasih, sampai jumpa di artikel berikutnya.



MODEL PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS MASYARAKAT

Sampah di Kota Yogyakarta menjadi masalah yang belum bisa diatasi sepenuhnya oleh pemerintah daerah. Pemda sebenarnya menyadari masalah ini, tetapi belum menemukan solusi jangka panjang yang tepat. Penelitian perihal Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat di Kota Yogyakarta ini bertujuan untuk (1) memperoleh gambaran tentang pengelolaan sampah rumah tangga berbasis masyarakat, (2) menginventarisasi problematika dalam sistem pengelolaan sampah rumah tangga ini, (3) memberikan rekomendasi untuk menyempurnakan sistem pengelolaan sampah rumah tangga berbasis masyarakat.
Beberapa kesimpulan penelitian ini adaklah: Pertama, pilot project pengelolaan sampah rumah tangga berbasis masyarakat di Gondolayu Lor, Kota Yogyakarta berjalan secara baik dengan prinsip 3R (reduce, reuse, recycle) dan berhasil mengurangi volume sampah yang dibuang ke TPSS hingga 70%. Ke dua, model pengelolaan sampah rumah tangga berbasis masyarakat dengan prinsip 3R merupakan solusi paradigmatik. Ketiga, problematika utama dalam pelaksanaan model ini adalah bagaimana mengubah paradigma “membuang sampah” jadi “memanfaatkan sampah”. Problematika lain yang teridentifikasi ialah (1) pemerintah daerah belum memberikan apresiasi terhadap masyarakat yang telah melakukan pemilahan sampah; (2) tidak ada mekanisme dan person yang memantau dan mengevaluasi kegiatan; (3) penerapan kebijakan pengelolaan sampah berbasis masyarakat dengan prinsip 3R tidak diikuti penyediaan sarana dan prasarana penunjang; (4) pemilahan sampah di rumah tangga kurang tuntas; (5) tidak ada kaderisasi untuk mencari pengurus baru yang memiliki kapabilitas dan integritas.
Ada enam hal yang dapat direkomendasikan.  Pertama, pemerintah, pengurus RT/RW, dan pengelola mendidik masyarakat secara terencana dan terukur tentang pengelolaan sampah yang benar. Ke dua, pemerintah mengatur dan memberikan insentif dan disinsentif untuk memotivasi masyarakat. Ke tiga, pemerintah, pengurus RT/RW, dan pengelola membuat mekanisme dan menentukan orang untuk memantau dan mengevaluasi pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Keempat, pemerintah menyediakan sarana dan prasarana pengelolaan sampah dengan model ini. Kelima, pengelola dan pengurus RT/RW mencari strategi kaderisasi pengelola. Keenam, model pengelolaan sampah rumah tangga berbasis masyarakat layak dikembangkan jadi model pengelolaan sampah rumah tangga di perkotaan
(Sumber: PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA  BERBASIS MASYARAKAT (Studi Kasus di Kota Yogyakarta). Tesis. F A I Z A H. 2008. PROGRAM MAGISTER ILMU LINGKUNGAN, PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG.) 


Terima Kasih, sampai jumpa di artikel berikutnya.



PENGELOLAAN SAMPAH

Pengelolaan sampah merupakan kegiatan pengumpulan , pengangkutan , pemrosesan , pendaur-ulangan , atau pembuangan dari material sampah. Kalimat ini biasanya mengacu pada material sampah yg dihasilkan dari kegiatan manusia, dan biasanya dikelola untuk mengurangi dampaknya terhadap kesehatan, lingkungan atau keindahan. Pengelolaan sampah juga dilakukan untuk memulihkan sumber daya alam . Pengelolaan sampah bisa melibatkan zat padat , cair , gas , atau radioaktif dengan metoda dan keahlian khusus untuk masing masing jenis zat.
Praktek pengelolaan sampah berbeda beda antara Negara maju dan negara berkembang , berbeda juga antara daerah perkotaan dengan daerah pedesaan , berbeda juga antara daerah perumahan dengan daerah industri. Pengelolaan sampah yg tidak berbahaya dari pemukiman dan institusi di area metropolitan biasanya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, sedangkan untuk sampah dari area komersial dan industri biasanya ditangani oleh perusahaan pengolah sampah.
Metode pengelolaan sampah berbeda beda tergantung banyak hal , diantaranya tipe zat sampah , tanah yg digunakan untuk mengolah dan ketersediaan area. Terdapat beberapa konsep tentang pengelolaan sampah yang berbeda dalam penggunaannya, antara negara-negara atau daerah. Beberapa yang paling umum, banyak-konsep yang digunakan adalah:
•    Hirarki Sampah - hirarki limbah merujuk kepada " 3 M " mengurangi sampah, menggunakan kembali sampah dan daur ulang, yang mengklasifikasikan strategi pengelolaan sampah sesuai dengan keinginan dari segi minimalisasi sampah. Hirarki limbah yang tetap menjadi dasar dari sebagian besar strategi minimalisasi sampah. Tujuan limbah hirarki adalah untuk mengambil keuntungan maksimum dari produk-produk praktis dan untuk menghasilkan jumlah minimum limbah.
•    Perpanjangan tanggungjawab penghasil sampah / Extended Producer Responsibility (EPR).(EPR) adalah suatu strategi yang dirancang untuk mempromosikan integrasi semua biaya yang berkaitan dengan produk-produk mereka di seluruh siklus hidup (termasuk akhir-of-pembuangan biaya hidup) ke dalam pasar harga produk. Tanggung jawab produser diperpanjang dimaksudkan untuk menentukan akuntabilitas atas seluruh Lifecycle produk dan kemasan diperkenalkan ke pasar. Ini berarti perusahaan yang manufaktur, impor dan / atau menjual produk diminta untuk bertanggung jawab atas produk mereka berguna setelah kehidupan serta selama manufaktur.
•    prinsip pengotor membayar - prinsip pengotor membayar adalah prinsip di mana pihak pencemar membayar dampak akibatnya ke lingkungan. Sehubungan dengan pengelolaan limbah, ini umumnya merujuk kepada penghasil sampah untuk membayar sesuai dari pembuangan


Terima Kasih, sampai jumpa di artikel berikutnya.